PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU KEKERASAN SEKSUAL OKNUM APARATUR PENEGAK HUKUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL

Oleh: MUHAMMAD RAIHAN FIRDAUS 41151010210120, 2025 PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU KEKERASAN SEKSUAL OKNUM APARATUR PENEGAK HUKUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL Skripsi

Abstract

Penelitian ini mengkaji dampak perubahan nilai budaya dan kemajuan teknologi terhadap peningkatan tindak kriminalitas, khususnya kekerasan seksual di Indonesia, yang diperparah oleh budaya patriarki dan ketidaksetaraan gender. Menggunakan perspektif feminisme dan sosiologi, penelitian ini menganalisis dua studi kasus kekerasan seksual oleh aparat penegak hukum terhadap tahanan di Rutan Polda Sulawesi Selatan dan pelecehan terhadap anak panti asuhan di Polsek Tanjung Pandan, Belitung. Data dari Kementerian PPPA menunjukkan tingginya angka kekerasan seksual, terutama pada remaja, menyoroti perlunya kebijakan hukum yang lebih efektif, revisi KUHAP, peningkatan pengawasan di lembaga penahanan dan panti asuhan, serta penghapusan stigma sosial terhadap korban. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan melalui pengkajian terhadap norma hukum terkait kekerasan seksual, termasuk UU TPKS, KUHP, dan peraturan pelaksanaannya. Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan menganalisis kasus-kasus konkret melalui studi dokumen dan berita media, terutama pada kasus Briptu Sanjaya di Rutan Polda Sulawesi Selatan dan kasus Brigadir AK di Polsek Tanjung Pandan, Belitung. Data dikumpulkan dari laporan berita, dokumen hukum, dan data statistik yang relevan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap aparat yang melakukan kekerasan seksual masih lemah, terlihat dalam kasus Briptu Sanjaya dan Brigadir AK yang mendapat hukuman ringan. Ketidaktegasan dalam sanksi dan lemahnya pengawasan internal membuka celah bagi penyalahgunaan wewenang serta impunitas, yang merugikan korban dan mengurangi kepercayaan publik. Implementasi UU TPKS dan UU Perlindungan Anak juga belum efektif akibat diskresi penyidik yang tidak terkontrol, prosedur yang tidak ramah korban, dan minimnya sensitivitas gender. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan peningkatan pengawasan internal, pelatihan hak asasi manusia bagi aparat, serta revisi prosedur hukum agar lebih berpihak pada korban. Selain itu, mekanisme pengaduan independen, pengawasan berbasis teknologi, serta layanan pendukung seperti konseling, rehabilitasi trauma, dan pendampingan hukum harus diperkuat. Pemerintah juga perlu memastikan anggaran yang memadai untuk layanan ini, terutama di daerah rentan, guna menjamin akses korban terhadap bantuan hukum dan pemulihan psikologis. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan sistem peradilan lebih transparan, akuntabel, dan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi korban.

Citation:
Author:
Oleh: MUHAMMAD RAIHAN FIRDAUS 41151010210120
Item Type:
pdf
Subject:
skripsi
Date:
2025