Yosua Adolf Sopacua 41151010200054, 2025 PENERAPAN MEKANISME DIVERSI DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA BULLYING DENGAN PELAKU DAN KORBAN DI BAWAH UMUR BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NO.11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DITINJAU DARI ASAS KEPASTIAN HUKUM Skripsi
Abstract
ABSTRAK Bullying yang dilakukan oleh anak-anak kini menjadi persoalan serius di tengah masyarakat, terutama di lingkungan sekolah. Tindakan ini tidak hanya melukai fisik, tetapi juga meninggalkan dampak psikologis mendalam bagi korban. Dalam menghadapi persoalan ini, sistem hukum di Indonesia mencoba pendekatan yang berbeda melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menekankan pentingnya keadilan restoratif melalui mekanisme diversi. Diversi diharapkan menjadi jalan tengah untuk menyelesaikan perkara pidana anak dengan cara yang lebih mendidik, tidak memidanakan secara langsung, dan tetap memperhatikan kepentingan terbaik anak. Meski demikian, penerapan diversi dalam kasus bullying tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya. Dalam praktiknya, masih dijumpai hambatan, terutama ketika korban atau keluarganya menolak berdamai karena trauma yang dialami, sehingga proses diversi gagal dilanjutkan. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Secara normatif, penulis menganalisis berbagai peraturan yang mengatur mengenai diversi dan sistem peradilan pidana anak, khususnya yang tercantum dalam UU No. 11 Tahun 2012. Sementara itu, pendekatan empiris dilakukan dengan menggali kasus-kasus nyata, seperti bullying yang terjadi di Purworejo, Bekasi Timur, dan Tulang Bawang Barat. Melalui studi pustaka, dokumentasi, serta analisis kualitatif, penelitian ini menyoroti bagaimana proses diversi dijalankan di lapangan dan sejauh mana pelaksanaannya mampu memenuhi asas keadilan dan kepastian hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun secara hukum mekanisme diversi telah diatur dengan cukup jelas, pelaksanaannya di lapangan masih menghadapi tantangan. Dalam kasus Purworejo dan Tulang Bawang Barat, misalnya, proses diversi gagal karena korban menolak berdamai akibat trauma yang mendalam. Di sisi lain, aparat penegak hukum masih belum sepenuhnya memahami serta konsisten dalam menerapkan mekanisme ini. Akibatnya, tujuan utama dari diversi untuk melindungi masa depan anak sebagai pelaku, sekaligus memulihkan kondisi korban, belum tercapai secara optimal. Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi yang lebih kuat antara penegak hukum, orang tua, sekolah, dan masyarakat agar diversi benar-benar menjadi solusi yang adil dan bermakna, baik bagi pelaku maupun korban. Kata kunci : Diversi, Bullying , Kejahatan anak