ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 144/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.BDG DALAM KASUS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAYUANE ELBA JEIHAN, 2019 ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR 144/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.BDG DALAM KASUS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN Studi kasus

Abstract

Sejatinya manusia membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri beserta keluarganya. Seseorang mendapatkan pekerjaan bisa dengan usaha sendiri maupun mengikatkan dirinya pada perusahaan/swasta. Hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha tidak selamanya dapat berlangsung. Pemutusan Hubungan Kerja diatur dalam pasal 150 sampai pasal 172 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, termasuk alasan-alasan melakukan pemutusan hubungan kerja. Salah satu alasan pemutusan hubungan kerja adalah ketika pekerja dianggap melakukan kesalahan berat seperti yang tercantum dalam pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam hal pekerja melakukan kesalahan berat, pengusaha sering melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak, padahal Pasca Judicial Review di Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 012/PUU-I/2003, pasal 158 dinyatakan bertentangan dengan undang-undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Pada dasarnya kesalahan berat yang diatur dalam pasal 158 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan termasuk dalam kategori perbuatan melanggar hukum atau kejahatan yang diatur dalam buku kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) oleh karena itu Pengusaha tidak bisa lagi melakukan PHK terhadap Pekerja yang melakukan kesalahan berat (tindak pidana) di tempat kerja sebelum adanya putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) yang menyatakan Pekerja terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana di tempat kerja. Penulisan studi kasus ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang dititik beratkan pada data sekunder yaitu melalui Studi kepustaaan dengan cara teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literaturliteratur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dipecahkan. Penelitian jenis normatif ini menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data-data yang ada dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka-angka. Berdasarkan analisis terhadap putusan Nomor :114/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.BDG Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Klas 1A Khusus diperoleh hasil bahwa harus menentukan gugatan dengan berhati-hati, tepat dan teliti. Berdasarkan persyaratan isi gugatan terdapat dalam pasal 8 ayat (3) Rv (Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering) yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat identitas dari para pihak, dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan (middelen van den eis) atau lebih dikenal dengan fundamentum petendi (posita), dan petitum atau tuntutan. Apabila tidak sesuai sebagaimana dimaksud maka akibat hukumnya gugatan akan dinyatakan tidak diterima (niet on vankelijk verklaar). Pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan Pekerja terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana di tempat kerja. Pasca putusan MK tersebut, maka secara normatif proses PHK dianggap tidak pernah ada kategori kesalahan berat sebelum adanya putusan peradilan pidana.

Citation:
Author:
BAYUANE ELBA JEIHAN
Item Type:
pdf
Subject:
studi kasus
Date:
2019