RISMAN MUCHAMAD YUSUP, 2018 TINJAUAN YURIDIS KEKUATAN HUKUM BUKTI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) SEBAGAI ALAS HAK KEPEMILIKAN ATAS TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA (UUPA) jo PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH Skripsi
Abstract
Sertifikat merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah, namun demikian masih ada masyarakat yang beranggapan bahwa SPPT PBB merupakan dasar kepemilikan atas tanah. Hal tersebut merupakan suatu ironi karena SPPT PBB merupakan bukti pembayaran pajak bukan bukti kepemilikan hak atas tanah Identifikasi masalah yang dilakukan adalah kekuatan hukum Pajak Bumi dan Bangunan sebagai alas hak kepemilikan hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah serta upaya hukum yang dilakukan oleh pemerintah ketika masyarakat meyakini Pajak Bumi dan Bangunan sebagai alas hak kepemilikan atas tanah. Metode penelitian yang peneliti lakukan adalah Spesifikasi penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analitis. Metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang mengutamakan cara meneliti data sekunder, berupa hukum positif dan bagaimana implementasinya dalam praktik. Teknik Pengumpulan Data adalah studi kepustakaan, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan serta mengkaji peraturan perundang undangan, rancangan undang-undangn hasil penelitian, jurnal ilmiah. Analisis data dilakukan secara Yuridis Kualitatif, yaitu analisis yang dipakai tanpa menggunakan rumus statiska dan matematika artinya disajikan dalam bentuk uraian dan konsep. Kemudian hasil analisis akan dipaparkan secara deskrpisi, dengan harapan dapat memberikan gambaran secara jelas mengenai kekuatan hukum bukti pajak (PBB) sebagai alas hak kepemilikan atas tanah Kesimpulan yang didapatkan dalam penelitian ini adalah sertifikat adalah surat tanda bukti hak yang dijilid dan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, dimana data tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan, dan hal ini tidak berlaku untuk SPPT PBB, yang tidak ada pengaturannya sebagai suatu alas hak atas kepemilikan suatu tanah. Masyarakat wajib memeriksa lokasi peta blok dari nomor objek pajak pada SPPT tersebut (biasa terdapat di Dinas Pendapatan atau pada perangkat desa yang memegang buku besar pajak tanah) atau bertanya pada penduduk sekitar/orang-orang yang dituakan pada lingkungan tanah tersebut. Menurut penulis, hal tersebutlah yang dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai suatu upaya hukum terhadap masyarakat, dengan dasar penyadaran hukum, sehingga tidak ada lagi masyarakat yang meyakini SPPT PBB sebagai alas hak atas tanah, upaya tersebut dapat berupa konseling atau pemberitahuan kepada masyarakat samapai pada tataran Rukun Warga atau rukun Tetangga yang dikelola dalam suatu peraturan tertentu, sehingga penekanan pelaksanaan hal tersebut dapat ditekankan dan dapat dipertanggungjawabkan.