WIDIA PRATIWI, 2018 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS SEBAGAI SAKSI KORBAN TINDAK PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES (KONVENSI MENGENAI HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS) Skripsi
Abstract
Perlakuan yang sama di depan hukum diatur dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28 D ayat (1) yang menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Melihat Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 ini berarti menempatkan setiap orang untuk mendapatkan hak yang sama di hadapan hukum tanpa mencederai rasa keadilan baik di dalam maupun di luar proses peradilan. Hal tersebut berlaku juga bagi penyandang disabilitas di hadapan hukum dan diperkuat dalam Pasal 12 dan 13 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on The Rights of Person with Disabilities) yang sudah diratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on The Rights of Person with Disabilities). Negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia setiap warga negaranya tanpa terkecuali. Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana kekuatan pembuktian yang diberikan penyandang disabilitas sebagai saksi korban tindak pidana dalam kasus pencabulan dan perkosaan, juga perlindungan hukum yang diberikan oleh Negara terhadap penyandang disabilitas sebagai saksi korban tidak pidana. Metode pendekatan yang akan digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah metode yuridis normatif yaitu merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi atau disebut juga penelitian hukum doktrinal. Spesifikasi penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif analitis, yaitu dengan cara menggambarkan permasalahan berdasarkan fakta-fakta yang ada dalam realita, serta menganalisis berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang kemudian dianalisa secara yuridis kualitatif yang menghasilkan suatu kesimpulan. Hasil penelitian ini, menyimpulkan bahwa kekuatan pembuktian yang diberikan penyandang disabilitas sebagai saksi korban tindak pidana dalam kasus pencabulan dan perkosaan, yaitu merupakan alat bukti yang paling utama ditambah dengan adanya alat bukti lain seperti visum et repertum dan keterangan ahli, kekuatan pembuktian keterangan saksi mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang bebas. Hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya dalam pembuktian. Perlindungan yang diberikan oleh kepolisian kepada penyandang disabilitas hanyalah sebatas menyediakan penerjemah yang berasal dari luar kepolisian. Aparat penegak hukum tidak memiliki keahlian berkomunikasi dengan penyandang disabilitas dan tidak tersedia penerjemah dan pendamping disabilitas sehingga mengakibatkan terhambatnya kinerja kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam melakukan perlindungan terhadap penyandang disabilitas.