EDDY GUNAWAN, 2016 EFEKTIVITAS PUTUSAN ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 1338 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Skripsi
Abstract
Penyelesaian sengketa melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau pun arbitrase mampu menjawab kebutuhan para pelaku usaha. Kebutuhan akan alternatif penyelesaian sengketa yang kondusif bagi pelaku usaha dan mampu menunjang kegiatan perekonomian dijawab oleh pemerintah Indonesia dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sehubungan dengan hal tersebut ada beberapa permasalahan yang menarik untuk dikaji antara lain bagaimanakah efektivitas penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase ? dan apakah penerapan hukum yang dapat dilakukan terhadap pihak yang tidak melaksanakan putusan arbitrase ? Pembahasan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bertujuan untuk mencari asas-asas dan dasar-dasar falsafah hukum positif, serta menemukan hukum secara in-concreto. Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu tidak hanya menggambarkan permasalahan saja, melainkan juga menganalisis melalui peraturan yang berlaku dalam hukum arbitrase. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan serta penelitian lapangan untuk mengumpulkan data primer dan sekunder. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa efektivitas penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase masih sangat kurang optimal, karena di dalam praktik berkembang pula bentuk-bentuk pemaknaan atau penafsiran terhadap putusan arbitrase berdasarkan sudut pandang masing-masing pihak. Hal itu berkembang karena tanpa disadari undang-undang arbitrase telah menghadirkan ambiguitas dalam arti pemberian makna atau penafsiran yang lebih dari satu terhadap status putusan arbitrase, pada satu sisi putusan arbitrase tegas dinyatakan bersifat final, mempunyai kekuaran hukum tetap, dan mengikat para pihak. Penerapan hukum yang dapat dilakukan terhadap pihak yang tidak melaksanakan putusan arbitrase secara umum dapat dilakukan gugatan secara perdata yang terbagi atas gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum. Suatu gugatan wanprestasi diajukan karena adanya pelanggaran kontrak (wanprestasi) dari salah satu pihak. Selain gugatan wanpestasi dalam hukum acara dikenal pula gugatan perbuatan melawan hukum, yaitu gugatan ganti rugi karena adanya suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain. Pasal 1365 KUHPerdata telah mengakomodasi ketentuan tersebut, yang menegaskan bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi atas suatu perbuatan melawan hukum yang merugikannya, dan seharusnya ada itikad baik dari para pihak yang bersengketa karena berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata sebelum sengketa terjadi para pihak tersebut mengadakan perjanjian kerjasama bisnis dengan adanya itikad baik.