Muhamad Aris Budiansyah, 2021 ANALISIS YURIDIS TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGUNAAN SURAT PALSU BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA Skripsi
Abstract
Pemalsuan surat merupakan kejahatan yang klasik namun masih menghiasi statistik kejahana di Indonesia. Realitasnya sebagai tindak pidana yang eksis, masih terdapat perbedaan penafsiran terhadap makna unsur dalam pemalsuan surat. Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian bagi penegak hukum dalam menerapkan pemalsuan surat terhadap peristiwa hukum, sehingga diperlukan pemahaman yang jelas terhadap makna dan bentuk-bentuk pemalsuan surat yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dalam menganalisis data, dilakukan dengan Metode pendekatan yang digunakan dalam metode penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu adalah pendekatan dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Sedangkan penelitian dalam kajian ini menggunakan penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif atau penelitian perpustakaan ini merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder, premier dan tersier seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum dan dapat berupa pendapat para sarjana. Pemalsuan surat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat dalam Bab XII buku II Pasal 263 sampai Pasal 266, secara keseluruhan yang menjadi inti dari semua bentuk Tindak Pidana Pemalsuan Surat yaitu membuat surat palsu, memalsukan surat dan memakai surat palsu atau surat yang dipalsu. Penerapan hukum pidana terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat didasarkan pada fakta-fakta hukum baik melalui keterangan-keterangan saksi, keterangan terdakwa, maupun barang bukti, selain itu juga didasarkan pada pertimbangan yuridis yaitu dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Pertanggungjawaban pidana dalam hal menyuruh menempatkan keterangan palsu terhadap suatu akta otentik seolah-olah benar dan dapat mendatangkan kerugian maka unsur pada Pasal 266 ayat (1) terpenuhi, namun lebih berat ancaman hukumannya apabila surat yang dipalsukan tersebut adalah akta otentik sebagaimana isi kandungan Pasal 264 ayat (1) ke-1. Jika melihat Tindak Pidana Pemalsuan Surat sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP sampai dengan Pasal 266 KUHP, maka penulis menyimpukan bahwa dalam hal ini Notaris maupun PPAT cukup berperan aktif sebagai pejabat yang berwenang membuat surat/akta otentik sehingga perlu adanya peningkatan pelatihan bagi para penegak hukum, Notaris maupun PPAT mengingat dampak kerugian bagi para pihak tertentu maupun diri sendiri.