Ilham Ramadhan, 2022 PENERAPAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PT. ASURANSI JIWASRAYA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 03/Pid.SusTPK/2021/PT.DKI) Skripsi
Abstract
Indonesia negara hukum yang identik dengan kepastian hukum sebagai landasan utama dalam mengatur tingkah laku dan pengambilan kebijakan pemerintah, sebagaimana diatur berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tingkah laku yang diatur oleh hukum salahsatunya adalah kejahatan dengan tujuan untuk terlaksananya tertib dalam bermasyarakat. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang menyebabkan kerugian yang sangat besar, pada tahun 2019 PT. Asuransi Jiwasraya terjerat kasus tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian sebesar Rp. 12.000.000.000.000 (dua belas triliun rupiah). Tujuan penelitian ini adalah untuk memberantas kejahatan tindak pidana korupsi dan terciptanya ketertiban dalam bermasyarakat. Studi kasus ini menggunakan metode kualitatif dengan penafsiran sosiologis yang sesuai dengan keadaan saat ini, serta bersumber dari buku, jurnal, dan peraturan lainnya. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 03/Pid.SusTPK/2021/PT.DKI dijadikan sebagai objek penelitian yang diunduh dari lama Direktori Putusan Mahkamah Agung. Berdasarkan hasil Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 03/Pid.SusTPK/2021/PT.DKI memutus terdakwa dengan pidana penjara 20 tahun dan denda Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah), putusan tersebut sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi salahsatu tujuan hukum adalah untuk mencapai ketertiban sehingga dapat mengurangi pelaku kejahatan, khususnya pelaku tindak pidana korupsi. Apabila acuan yang masih digunakan adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi, maka fakta yang terjadi tingkat kejahatan korupsi terus meningkat, berarti ada kesalahan dalam acuan tersebut. Hakim mempunyai kekuasaan untuk memutus hukuman lebih dari tuntutan jaksa dengan dasar untuk kepentingan umum, seharusnya sudah saatnya hakim memutus hukuman yang sangat berat sehingga adanya rasa jera bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 03/Pid.Sus-TPK/2021/PT.DKI Hakim tidak mempertimbangkan dan memerthatikan kerugian pada korban, sehingga tidak dapat memujudkan rasa keadilan bagi para korban. Hakim seharusnya bersifat aktif mencari keadilan sebagai tujuan utama. Berdasarkan Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang mengatur tentang penggantian kerugian pada korban.