Ani Nuraeni 41151010190003, 2023 Perusakan perkebunan berkaitan erat dengan perusakan lingkungan hidup, dimana dalam perusakan perkebunan akan mengakibatkan lahan perkebunan menjadi terkikis. Dampak negatif dari penurunannya kualitas lingkungan hidup baik karena terjadinya pencemaran atau terkurasnya sumber daya alam adalah timbulnya ancaman atau dampak negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian ekonomi, dan terganggunya sistem alami. Sehubungan dengan hal tersebut ada beberapa permasalahan yang menarik untuk dikaji antara lain mengenai penerapan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan terhadap sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perusakan perkebunan dan mengenai kebijakan pengaturan larangan perusakan perkebunan dihubungan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembahasan skripsi ini penulis menggunakan metode yuridis normatif atau dengan cara meneliti bahan kepustakaan yang ada. Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu tidak hanya menggambarkan permasalahan saja, tetapi menganalisis juga penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perusakan perkebunan menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan juga kebijakan pengaturan larangan perusakan perkebunan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan untuk memperoleh data yang diperlukan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa faktor penyebab perusakan perkebunan yang terjadi di kawasan PT. Perkebunan Nusantara VIII yaitu pelaku menyalahgunakan program pemerintah TORA (Tanah Obyek Reforma Agraria), sehingga para pelaku nekat merusak lahan perkebunan untuk dialihfungsikan. Hal ini menyebabkan kerugian yang dialami PT. Perkebunan Nusantara VIII. Para pelaku perusakan perkebunan dapat dijerat dengan sanksi pidana berdasarkan Pasal 107 huruf Skripsi
Abstract
Pembelaan Terpaksa (Noodweer) adalah salah satu alasan dalam hukum pidana yang dapat digunakan oleh terdakwa sebagai pembelaan diri. Alasan ini dapat digunakan jika terdakwa melakukan tindakan pidana dalam keadaan terpaksa untuk mempertahankan diri sendiri atau orang lain dari serangan yang mengancam nyawa atau keselamatan. Dalam hal ini akan dibahas mengenai analisis terhadap Pembelaan Terpaksa sebagai alasan dalam hukum pidana. Penerapan Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai Pembelan Terpaksa dalam tindak pidana kekerasan ini tidak di terapkan oleh Majelis Hakim, hal tersebut dikarenakan unsur-unsur dari Pasal 49 KUHP ini tidak terpenuhi yaitu serangan dari ancaman terlalu berlebihan atau tidak seimbang dan menyebabkan luka-luka pada korban. Alasan yang dapat dibenarkan oleh terdakwa dalam hukum pidana untuk membela diri atau orang lain dari serangan yang mengancam nyawa atau keselamatan. Namun, terdapat persyaratanpersyaratan yang harus dipenuhi oleh terdakwa agar alasan ini dapat diterima oleh pengadilan. Syarat yang harus dipeuhi ada serangan yang bersifat seketika atau mengancam secara langsung, serangan tersebut bersifat melawan hukum, serangan itu terhadap diri sendiri ataupn oranglain, yang mengancam kehormatan, kesusilaan, harta dan juga benda kepunyaan diri sendiri maupun oranglain, maka pembelaan terpaksa itu harus dilakukan. Upaya hukum yang dapat dilakukan meliputi pembelaan di pengadilan, banding atau kasasi. Jika seseorang dinyatakan bersalah dalam kasus yang melibatkan pembelaan terpaksa, dia dapat mengajukan banding ke pengadilan tingkat lebih tinggi. Dalam proses banding, pihak yang mengajukan banding harus menyajikan argument yang meyakinkan mengenai kesalahan yang dibuat dalam putusan sebelumnya terkait penggunaan pembelaan terpaksa. Jika banding ditolak, pihak yang bersangkutan masih dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung untuk meminta peninjauan kembali atas putusan yang telah dijatuhkan.